KALAH - CERPEN

 

KALAH

"Wahyu, selama ini apakah kamu pernah mempunyai perasaan suka kepaku?"

Pertanyaan itu muncul tiba-tiba dari seorang sahabatku di sebuah warung makan ayam geprek favorit kami. Aku pun tersedak dan segera memimun es teh di depanku.

“Aneh sekali pertanyaanmu, seperti tidak ada obrolan lain.” Jawabku dengan nada gurai.

“Sudah jawab saja, apakah sulit?" ucap Salsa kesal.

“Tidak pernah, mengapa kamu tanyakan hal itu?" jawabku tegas.

“Tanya saja, selama ini kita sering menghabiskan waktu bersama. Rumah kita dekat, kita satu organisasi di BEM dan kita saling bertukar cerita. Seperti kata kebanyakan orang cinta bisa tumbuh karena terbiasa bersama.” Jawab Salsa dengan penjelasannya.

Aku dan Salsa memang sudah dekat layaknya anak ayam dengan induknya yang selalu berjalan bersama kesana kemari. Banyak faktor yang membuat kami seperti ini salah satunya jarak rumah kami yang cukup ditempuh dengan waktu lima menit. Salsa adalah seorang anak pindahan dari Malang yang kebetulan dia harus tinggal di Jogja karena penempatan tugas dinas ayahnya. Aku pun baru mengenalnya semenjak kita dipertemukan di organisasi BEM. Namun mengenalnya satu tahun sudah cukup bagiku untuk mengetahui banyak hal tentangnya. Mulai dari makanan dan tempat kesukaannya, pertemanananya hingga latar belakang keluarganya.

Aku pun hanya menganggukan kepala dan melanjutkan makan ayam geprek yang tersisa setelah mendengaran penjelasan dari Salsa.

“Kamu pulang jalan kaki ya.” Celetukku ditengah keheningan.

“Loh mengapa, aku ada salah?” jawab Salsa.

“Ada,” jawabku singkat.

“Mengapa memang? Aneh sekali,” ucap Salsa.

“Sudah ya jangan pernah bahas hal ini lagi, sekali lagi kamu bahas aku berhenti jadi tukang ojekmu.” Jawabku sembari menatap bola matanya.

“Hahahaha, iya oke Wahyu.” Ucap Salsa dengan tertawa dan menepuk pundakku.

Aku memang sangat menjaga perasaanku untuk tidak jatuh cinta kepada Salsa. Membahas hal seperti itu saja sudah menjadi hal tabu bagiku. Mungkin aku merasa seperti ini karena takut akan kehilangan sosoknya dan takut akan kisah persahabatan yang ujungnya akan menjadi kenangan pahit.Kami pun melanjutkan obrolan. Seperti biasa membahas organisasi, menceritakan tingkah laku orang lain hingga obrolan tak penting yang membuat kami tertawa menghabiskan waktubersama. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam saatnya kami untuk bergegas pulang.

Hari demi hari, minggu demi minggu ku lewati. Di tengah jadwal kuliah yang padat aku juga harus bisa membagi waktuku dengan organisasi. Kebetulan aku dan Salsa juga tergabung dalam satu departemen di BEM yaitu Media Kreatif. Di bulan September ini departemen kami sedang mempersiapkan pembuatan konten video youtube untuk channel BEM yang berjudul “Bincang Alumni”. Kami pun membagi tugas, Salsa bertugas untuk mencari dan meghubungi narasumber serta membuat daftar pertanyaan. Empat temanku lainnya bertugas dalam teknis pengambilan gambar dan suara sedangakan aku sendiri seperti biasa bertugas untuk mengedit video.

“Teman-teman, ini aku ada usul untuk menghadirkan mas Rangga sebagai narasumber kita.” Ucap Salsa sembari menunjukkan profil instragram mas Rangga.

“Emm ... sepertinya menarik. Kalau tidak salah dia alumni angkatan 2015, kan? “jawab Ryan salah satu teman departemenku.

“Iya yan, lihat dia sekarang sukses menjadi pengusaha muda. Dahulu sepertinya dia juga berhasil menyandang gelar cumlaude,” ucap Salsa meyakinkan kami.

“Ya sudah, coba kamu hubungi saja.” Jawabku berpendapat.

“Okee, coba kuhubungi ya.” Ucap Salsa.

Kami pun melanjutkan diskusi mengenai program kerja departemen sembari menunggu kabar dari mas Rangga. Di tengah diskusi kami yang makin serius tiba-tiba terdengar suara notifikasi pesan dari handphone Salsa.

“Alhamdulillah, mas Rangga bersedia menjadi narasumber kita.” Ucap salsa sembari tersenyum lebar.

“Alhamdulillah, Bagaimana ini teman-teman apakah bisa disepakati? ucap Danang kepala departemenku.

“Kalau dariku sepakat saja, orangnya terlihat inspiratif juga.” Ucapku berpendapat yang lain pun juga mengiyakan.

“Okee, mungkin selanjutnya Salsa bisa mengatur waktu dan tempat untuk bertemu dengan Mas Rangga. Jangan lupa juga daftar pertanyaannya.” Tegas intruksi Danang.

“Siap bosss.” Jawab Salsa dengan mengakat tangan kanan hormat.

Kami pun menyepakati untuk mengundang mas Rangga sebagai narasumber. Seiring berjalannya waktu hari di mana bertemu mas Rangga tiba, kami janji bertemu dengannya pukul 3 sore namun kami datang terlebih dahulu untuk briefing dan persiapan take video. Waktu sudah menunjukkan tepat pukul 3 sore, kami sudah melakukan briefing dan menyelesaikan persiapan. Dari arah selatan pintu Cafe munculah seorang pria tinggi mengenakan setelan kemeja putih rapi dan memakai sepatu pantofel hitam kemerlap menghampiri kami. Ya dialah mas Rangga orang yang kami tunggu.

"Assalamualaikum, permisi dari BEM FIP ya?" tegur mas Rangga

"Iya, Mas silakan bisa duduk terlebih dahulu.” Ucap Salsa menyambut kedatangan mas Rangga.

Kami pun menyambut hangat kedatangan mas Rangga. Memperkenalkan diri satu persatu dan menjelaskan teknis video yang akan kami lakukan. Terlihat bola mata Salsa terus memandangi wajah mas Rangga dan tersenyum kagum kepadanya. Senyuman itu beda, senyuman yang belum pernah aku temui sebelumnya. Setelah menjelaskan teknis video kepada mas Rangga take video pun dilakukan. Cukup hanya sekali take mas Rangga sudah bisa menjawab pertanyaan yang kami ajukan dengan lancar. Setelah melihat hasil video dan rekaman suaranya pun juga sudah bagus menurut kami. Selanjutnya kami mempersilahkan mas Rangga beristirahat terlebih dahulu sebelum berpamitan. Terlihat jelas mas Rangga dan Salsa berinteraksi terusmenerus hingga akhirnya dia berpamitan. Tak lama kemudian kami juga bergegas untuk pulang, seperti biasa aku menjadi tukang ojek Salsa.

Seminggu berlalu, tugas kuliahku makin menumpuk ditambah lagi aku belum menyelesaikan editan video kemarin. Ketika itu malam Sabtu aku merasa bosan didalam kamar, kuambilah handphone lalu mengajak Salsa untuk menemaniku mengedit video di Cafe langganan kami. Seperti biasa Salsa menjawab “Okee berangkat.”

Tibalah kami di sebuah cafe dengan suasana yang tak asing lagi. Seperti biasa kami duduk di meja pojok menghadap utara lantai 2. Tidak ada yang spesial mengapa kami duduk di sini hanya karena dekat dengan stop kontak saja. Tak lama kemudian pesanan kami tiba dan akupun mulai menyalakan laptopku.

“Kamu mau lanjut edit video ya?” tanya Salsa.

“Iya, ini saja baru sepuluh persen,” jawabku.

“Jika aku sembari bercerita apakah akan mengganggumu?” tanya Salsa bersikap manis.

“Ganggu, sangat mengganggu,” jawabku bergurau.

“Ya sudah.” Ucap Salsa cuek.

“Iya iya, cerita saja. Ada apa memang?” jawabku membujuk Salsa bercerita.

“Aku dekat dengan mas Rangga, sejak bertemunya minggu lalu kami sekarang saling berbalas pesan dan rencana aku besok berkencan dengannya.” Ucap Salsa.

“Lalu apa yang kamu rasakan?” tanyaku.

“Aku suka dengan mas Rangga,” jawab Salsa lirih dan terdengar malu.

“Bagus aku mendukungmu, kalian sepertinya cocok bersanding bersama.” Ucapku.

“Nah benar, Sahabat harus selalu mendukung. Ya sudah sekarang silakan kembali tatap layar laptopmu” ucap Salsa senang.

Aku pun beralih pandang kepada layar laptopku dengan perasaan kesal. Ucapan dukunganku kepada Salsa hanyalah omong kosong belaka. Entah mengapa hati ini seperti resah melihat sosok perempuan yang selalu di dekatku jatuh cinta kepada laki-laki pujaannya. Aneh sungguh aneh. Fokusku hilang untuk mengedit dan sepanjang waktu di Cafe itu Salsa terus mengoceh mendambakan laki-laki yang dia cintainya. Aku pun hanya tersenyum mendengar hal itu, mengiyakan semua perkataannya. Waktu makin malam, editanku tidak berprogres. Aku pun mengajaknya pulang.

Sesampainya dirumah aku mencoba menyalakan laptop kembali dan berfokus untuk benar-benar mengedit. Nyatanya tidak bisa, pikiranku terpenuhi oleh Salsa. Dalam hati ku bertanya “Perasaan macam apa ini?” “Apakah aku jatuh cinta kepadanya?” “Atau mungkin hanya rasa cemburu terhadap sahabatku?” aku coba meyakini hal itu. Namun akal dan hatiku saling bertentangan. Sial, aku memang sudah jatuh cinta. Mungkin jika aku jatuh cinta harusnya tidak selambat ini menyadarinya, Bodoh. Aku terlalu meyakinkan diriku untuk bisa terus bersamanya. Aku egois. Aku kalah dalam pertarungan melawan hatiku. Kalah, sangat telak.

 

Penulis : Rizal Basri
Lomba KOMPAS FIP UNY 2021



 

 

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama