“Apa itu takdir, Sa?”
“Kenapa kamu bertanya seperti itu,
Na?”
“Kenapa takdir membawaku kepada orang
yang tak benar-benar untukku?, kenapa waktu itu, semesta sangat tepat mempertemukan
dua insan yang haus akan kasih sayang?”
“Kita hanya manusia, beribu kali
melakukan kesalahan dan minim akan pencerahan.” katanya.
Ia adalah Sahasra. Laki-laki
yang memiliki dagu belah itu adalah orang yang selalu ada untukku ketika aku
benar-benar rapuh. Ia adalah sosok sempurna untuk orang-orang yang hanya butuh
didengar. Ia tidak memotong pembicaraan, tidak menghakimi dan tidak membela
siapapun. kata-kata yang sering ia keluarkan ketika menasehati seseorang begitu
dalam, memaksa telingaku menerima semua yang ia katakan. Matanya yang tenang
saat menatap, membuat tiap orang senang ketika melihatnya. Alisnya tebal,
rambutnya hitam agak gondrong, ia sering mengikat rambutnya. Ia terlihat cuek
jika belum kenal, namun siapa sangka ia adalah orang yang sangat menyenangkan.
Aku sedang berada di
sebuah tempat kopi di tepi sawah yang saat itu kebetulan aku sedang ingin
sendiri, menikmati senja dan kopi V60 kesukaanku. Namun Sahasra tak ingin
membiarkan aku sendiri dalam lamunanku.
Tiga tahun lalu, terakhir
kali Sahasra menemukanku sendiri hampir tenggelam di Pantai Parangtritis karena
waktu itu aku sedang benar-benar patah. Aku tidak begitu ingat kejadian itu.
Namun waktu itu aku benar-benar sudah kalut. Kubiarkan tubuhku terkena ombak
dipantai sambil memejamkan mata menginginkan kehidupanku segera berakhir. “Aku
sangat membenci orang itu.” dalam hati aku berkata seperti itu.
Udara sore ini cukup
dingin, walapun begitu aku berada di lantai dua, bukan tanpa maksud, aku hanya
ingin melihat cahaya terang itu kembali ke peraduannya. Warna kuning itu
perlahan berubah menjadi jingga, berangsur-angsur meredup menjadi ungu
kemerahan, kemudian menghilang. Indah
sekali sementara itu.
“Pelajaran dari Tuhan memang selalu
lebih menarik, rumit, mendebarkan dan tidak mudah dimengerti oleh manusia.
Namun begitu, masa lalu itu cukup dijadikan pelajaran saja, Na.” Ia bicara
sambil membuka jaketnya untuk kemudian ia pakaikan kepadaku, mungkin ia juga
merasakan dinginnya.
“Kenapa kamu memberikannya kepadaku, Sa?”
ia menatapku agak lama, kemudian mengalihkan pandangannya. Ia selalu seperti
itu.
“Biar tidak dingin, Na.” Ia menjawab.
“Lihatlah kerudungmu sampai terbang-terbang terkena angin.” Ia bicara sambil
menunjuk kerudungku yang bergerak terkena angin sore itu.
Aku hanya bisa tersenyum menerimanya.
Sahasra memang begitu perhatian kepadaku. Sudah tiga tahun ini aku dekat dengannya.
Bukan apa-apa. Kami berteman. Memutuskan untuk berteman lebih tepatnya. Pikiran
kami sungguh menyatu tetapi kami sungguh berbeda.
“Bagaimana kopimu?, tempat ini
terlalu bagus.”
“Memang tempat yang bagus, kopinya
sering tidak enak ya, Sa?” aku menghardiknya.
“Hahaha, biasanya begitu,
tempat-tempat yang bagus hanya menawarkan visual, bukan cita rasa.” Saat ia
tertawa lesung di pipinya terlihat, membuatku sedikit lama menatapnya.
“Cobalah,” aku menawarkan kopiku
padanya.
Ia meneguknya dengan
sangat perlahan sambil merasakan aroma biji kopi yang ada pada minuman itu,
biasanya ia cepat memutuskan apakah kopi itu enak atau tidak. karena yang
kutahu Sahasra adalah penikmat kopi akut, ia juga sangat menyukai jenis V60.
“Enak.” katanya. “Tempat pilihanmu
bagus juga.”
“Hahaha, sekarang aku juga penikmat
kopi ulung tahu!” Aku memelototinya dengan tatapan bangga.
“Dasar anak Seperempat Abad.”
Katanya.
“Belum, hanya hampir saja.”
Kami hanya berdua diatas,
menikmati kopi masing-masing. Iringan musik mellow yang kami dengarkan
membuat suasana lebih rileks. Sahasra akhirnya memesan kopi yang aku pesan
karena ia ketagihan. Bintang-bintang terlihat berjejer rapi malam ini.
Lampu-lampu bersusun rapi, ada yang tepat diatas kami. Mungkin waktu yang
romantis ini sangat cocok untuk manusia yang sedang menjalin kasih. Tapi malah
aku yang terjerat waktu yang bagus ini. Sial.
“Biasanya, kalau ngopi di tempat kopi
pertama kali yang dipesan harus Signature of the dish, Sa, kenapa kamu
malah pesan kopi yang sama denganku sih!” Tanyaku sebal.
“Lho, ini masih termasuk itu kok, Na,
Cuma ini urutannya di paling bawah, hahaha.”
Bicaranya yang santai itu membuatku
nyaman, tidak ada hal yang harus di lebihkan dan dikurangi, cukup jadi ia saja.
“Ini sudah empat tahun dan aku belum
bisa move on darinya, Sa, sepayah itukah aku?”
“Kamu hanya harus berusaha
melupakannya, Na.” Ia membuka rokok Country Merah dan menyalakan korek
jintainya
“Untuk apa berusaha lupa kalau segala
hal yang dihapus pasti meninggalkan jejak, Sa?”
“Alam semesta melakukan sesuatu,
apapun itu pasti ada tujuannya, move on bukan hanya tentang melupakan,
tapi juga tentang belajar. Bukan mencari rumah baru yang lebih nyaman, tetapi
bagaimana cara kita mengikhlaskan, Na.” Ia mengepulkan asap rokoknya yang tentu
saja tidak diarahkan kepadaku. Aku tidak begitu terganggu dengan orang-orang
yang merokok, asalkan mereka tahu diri saja, tidak mengganggu udara yang lain.
Dalam suasana yang hangat
itu, ada suara lirih yang berangsur-angsur mengeras, membuat mataku sedikit
terbuka lebar, aku jelas sangat mengenal suara ini.
Aku terdiam, musik yang
ada di kafe ini kebetulan berganti menjadi musik instrumen piano yang orang itu
mainkan. Orang yang sangat ingin aku lupakan. Meskipun sudah lama ternyata masih
sama saja, aku tidak bisa lupa. Waktuku terhenti, kenangan itu kembali merayap
dalam kepalaku, semua omongan bullshit-nya waktu itu, aku hanya
bisa tertawa, tetapi ternyata mataku perlahan berair. Keringatku bercucuran, tubuhku
dingin dan kaku, “Kenapa aku masih selalu terjerat masa lalu?” Aku bertanya
dalam hati.
“Hei, are you okay, Na?”
Sahasra mulai panik, ia mematikan rokoknya. Ia tidak mengerti kenapa aku
seperti ini. Yang ia tahu aku adalah wanita yang putus cinta, ditinggal
laki-laki pengecut, itu saja. Ia tak pernah bertanya bagaimana aku sampai di
pantai itu sendiri, sampai aku ingin berhenti untuk hidup, ia tak pernah
menanyakannya. Apakah ia menungguku untuk bercerita?
Aku menarik nafas agak panjang,
kemudian melepaskanya,
“Tidak apa-apa, cuma kaget saja,
masih ada juga kafe yang memutar musik seperti ini, bikin sakit hati saja.” Gumamku
kesal. Sahasra dengan wajah bingungnya menatapku memilih untuk diam, sepertinya
ia menungguku untuk bercerita.
“Itu hanya berlaku bagimu Na,
lihatlah orang orang dibawah mereka
mungkin sangat menikmatinya, sepertinya musik-musik seperti ini membuat orang
tenang.” Ia terus memerhatikan aku masih dengan wajah bingungnya. Aku tahu ia
bukan orang yang hanya ingin tahu lalu pergi, tetapi ia begitu peduli.
“Kenangan ini masih sangat nyata, Sa,
aku tak bisa lupa.”
“Pelan-pelan,”
“Jadi bagaimana Sa, menurutmu takdir
akan membawaku kemana?”
“Tidak ada yang tahu Na, kamu hanya
bisa berusaha membawanya ke tempat yang lebih baik.” Ia mengatakannya dengan
nada yang mantap.
“Nanti kalau aku akan jatuh cinta
pada seseorang dan mulai membuka hati lagi, aku mau cari orang yang sepertimu,
Sa.”
“Boleh saja.” Sahasra menjawabnya
dengan singkat membuat suasana agak tegang. Ada sesuatu yang berbeda disini. Ia
seperti ingin mengatakan sesuatu.
“Kamu besok harus datang ya ke
pernikahanku, walaupun jodohku sepertinya belum terlihat, hahaha.” Aku berusaha
mencairkan suasana.
Sahasra menatapku agak lama.
“Na, aku menyukaimu.”
“Sejak kapan, Sa?”
“Sejak awal.”
“Kapan tepatnya?”
“Sejak awal, Na. sejak di pantai itu.
Pukul 02.45 dini hari aku masih ingat.” Ia kemudian melanjutkan perkataannya.
“Kamu tahu Na, waktu itu aku juga patah, pun
rapuh. Banyak hal berat yang juga kebetulan menyapaku. Aku sangat kalut sampai
aku ingin mengakhiri hidupku juga waktu itu. Mungkin aku tidak akan
menceritakannya kali ini. Namun, setelah berpikir berulang kali, ternyata
hidupku terlalu indah jika tidak diperjuangkan, Na.” Ia bicara dengan tenang, dengan sedikit suara
parau.
“Kemudian aku melihatmu berjalan
menuju ombak pantai itu, aku membiarkanmu karena mungkin kamu ingin menghirup
udara yang lebih segar di tepi laut. Namun seperti melihat cermin yang ada pada
diriku, kamu terlihat kalut waktu itu. Kamu terus berjalan tanpa melihat arah
manapun, matamu yang sayu membuatku ingin terus melihatmu. Saat setelah kamu
berjalan terlalu jauh ke tengah laut itu ombak pantai sedang tinggi, kemudian
aku segera berlari menyelamatkanmu. Aku mengumpat dalam hati, “DASAR WANITA
GILA”. Setelah kejadian itu aku ingin terus menjagamu, Na. aku tidak ingin kamu
berakhir sia-sia.” Ia menatapku dengan tatapan cemas dengan matanya yang lembut.
“Aku tidak akan bertanya kenapa kamu melakukan hal itu, aku tahu suatu saat
kamu akan menceritakannya, Na.”
“Terimakasih sudah menyukaiku, Sa.
Tapi maaf aku tidak bisa apa-apa.” Aku menjawabnya dengan menyesal. Sangat
menyesal. Mataku berkaca-kaca. Kuusahakan untuk tetap tersenyum.
“Tidak apa-apa, Na, aku sudah lega
mengatakannya.”
Aku tidak menjawabnya lagi, dalam
keheningan yang cukup lama ini aku ingin menjerit, ada yang ingin aku
ungkapkan. Aku sebenarnya juga sudah memendam lama perasaan ini. Aku hanya bisa
mengucapkannya dalam hati,
“Sa, apakah kamu tahu? Aku juga
menyukaimu, sangat menyukaimu. Tiga tahun terakhirku indah sekali setelah
kejadian itu. Kamu menemaniku, kamu menguatkanku. Namun diwaktu yang bersamaan
aku juga sadar, Sa. Kita terlalu berbeda. Lihatlah kalung salib yang kamu
gantungkan di lehermu itu. Sungguh menyiksaku. Kita begitu dekat tapi sangat
jauh. Perbedaan kita yang jadi pemisah paling jauh ketika tasbihku bertemu
dengan manik rosariomu.” Dalam hati aku berkata.
Ia diam, akupun diam, kemudian dengan
seperempat sisa kopiku malam itu aku berkata padanya,
“Jika aku jatuh cinta, aku mau orang
yang seperti kamu, Sa. Tetapi yang satu keyakinan.”
Ia tersenyum, lalu menjawab, “Sama,
Nala, aku juga.”
“Terimakasih untuk tidak sama sekali
mengizinkanku berekspektasi lebih tentang kamu, Sa, untuk tidak sama sekali
memberiku sesempit apapun ruang untuk menghidupkan harapan-harapanku kepadamu.” ~the
end~
Penulis
: Laili Inayah
Lomba
KOMPAS FIP UNY 2021
Posting Komentar